Kata sang guru bahwa dalam satu
tangkai padi pun ada yang tidak berisi. Jadi bersabarlah pesannya. Itulah hari
dimana aku tidak dapat membendung cerita lagi. Bagaimana ia membantah orang tua
dan membuat air mata ibu berderai setiap malam. Aku bisa apa?
Aku memilih mendiamkan adik. Rasa
marah terlalu besar sehingga menahan lidah untuk sekedar menyapa. Salah yang
bertambah-tambah setiap hari. Bagaimana pula hati ini dapat memaafkannya.
Ibunya adalah ibuku juga. Siapa yang tega melihat air mata ibu setiap hari.
Bertahun-tahun tanpa ada
perubahan. Bergadang setiap malam, bolos sekolah, berkelahi dan ikut tawuran,
badan penuh tato dan kerjanya hanya meminta uang. Uang dan uang, serta harus
ada. Jika ibu berkata tidak punya uang, maka bersiaplah perang dunia di rumah.
Lelah hati dan pikiran membuat raut wajah ibu semakin cepat menua.
Kapan sadarnya? Aku berpikir
sampai kapan adik akan berubah. Menunggu masa itu terasa sangat melelahkan.
Pernah anak didikku berkata jika aku mempunyai adik yang seorang preman. Bahkan
orang banyak tidak percaya jika adik memiliki keluarga yang sempurna. Ayah,
ibu, kakak dan adik yang hidup sederhana dan terdidik dengan baik. Apakah ini
ujian keluarga.
Hari berganti, sekolah hingga
kuliah yang tak selesai, adik belum berubah. Ayah pun telah berpulang ke sisi
Allah. Namun adik masih sama, malah menjadi-jadi. Tidak ada lagi orang yang
dipandangnya. Dialah satu-satunya lelaki penguasa rumah. Dan akupun semakin
hilang harapan.
Sampai hari itu tiba, ketika ibu
sakit keras. Orang satu-satunya yang selalu membelanya tidak sadarkan diri.
Orang yang selama ini memberikan kasih sayang penuhnya sudah tidak dapat
berkata lagi. Hanya ada tatapan kosong. Saat itulah aku melihatnya tersungkur
menangis. Diam dan menatap ibu dengan penuh penyesalan. Tidak ada kata, tetapi air
matanya yang tak kunjung reda. Adik terlihat bingung dan sangat ketakutan.
Takut kehilangan orang satu-satunya yang masih menyanyanginya dan yang selalu
berdiri di garda terdepan sebagai pembelanya.
Di titik itu rasa kasihan
menghinggapiku. Kalimat pertama setelah sekian lama tertahan akhirnya keluar
dari lisanku.
“Sholat dan do’akan ibu. Hanya
itu yang bisa kita lakukan saat ini.” Ujarku lirih.
Adik diam, lalu perlahan ia
beranjak dan menuju mushola rumah sakit. Adik sholat, dan kemudian dia hanya
duduk bermunajat sambil berderai air mata, lama. Kejadian itu sangat memukul
hatinya. Setelah sekian lama ia tidak sholat, hari ini adik mulai mengingat
Allah.
Ya, ternyata inilah titik balik
adikku. Meskipun sakit ibu adalah ujian yang sangat berat, tetapi Allah
menjadikan sakit ibu sebagai titik keinsyafan untuk adik. Ia mulai berubah.
Jangankan memaksa meminta uang, memaksa meminta ibu untuk berkata sepatah kata
saja tidak bisa. Adik berubah. Sorot matanya tidak sekeras dulu lagi. Mata itu
berganti sayu dan penuh penyesalan.
#17
Komentar
Posting Komentar