Sebenarnya bukan Risma saja yang
akan tertarik membaca terjemah dan tafsir surat Al Baqarah tadi. Diskusi
denganya membuatku merasa wajib membaca dan merenungkan kembali tafsir
ayat-ayat itu.
Mengapa orang sekelas pak ustazd,
guru mengaji yang ilmu agamanya tidak diragukan dapat tergolong menjadi orang
munafik. Berdalih perbaikan namun sejatinya malah merusak karena mengajak kepada
yang mungkar. Lama aku termenung,
mengulang dan membaca lagi maksud tafsir ayat itu.
Cahaya hati, keimanan yang sudah ada dan sangat terang itu
ternyata bisa sekejap saja diambil oleh
Allah. Jikalau Dia berhendak mencabut cahaya yang menyinari hati, maka seketika
akan gelap gulita. Oleh karenanya, meskipun sebelumnya ia seorang pemuka agama,
paham Islam, dengan mudah seolah berpaling dalam kesesatan.
Sungguh sangatlah merugi, ketika
Allah mencabut cahaya itu, seolah dia tidak memiliki pengetahuan sedikitpun. Seakan
Allah menutup semua indranya sehingga tidak dapat melihat kebenaran dan
merasakan kebajikan. Karena cahaya hati adalah hak prerogative Allah
sepenuhnya. Ketika Ia melenyapkannya menjadi
gelap gulita maka tiada daya upaya untuk dapat menerangkannya kembali.
Jadi tidaklah perlu heran mengapa
ada dan barangkali banyak para alim ulama yang berdiri teguh di belakang calon
pemimpin non muslim. Karena sebenarnya saat
itu Allah telah mencabut cahaya di hati mereka. Meskipun kita mengingatkan
bahkan berteriak kepada mereka bahwa mereka sedang membuat kerusakan, maka
sedikitpun kita tidak dapat mengembalikan cahaya kebenaran yang telah
tercerabut itu.
Kututup tafsir Ibnu Katsir dengan
helaan nafas panjang. Semoga Allah berkenan memberi cahaya di hati ini dan
tidak mencabutnya walau sekejap saja. Sungguh, diri ini tidak berpengetahuan
sedikitpun.
#9
Komentar
Posting Komentar