Mungkin hari itu aku berpikir
akan sudah tinggal nama. Jika mengingat kembali maka aku akan kembali bergidik dan ketakutan kembali. Jikalaulah
bukan karena Allah, maka hari itu aku sudah selesai.
Ketika itu aku masih duduk di
bangku SMA. Sudah menggunakan kerudung, yang kala itu hanya aku, anak guru
Agama dan anak-anak keturunan Arab yang melakukannya. Masih sangat jarang,
kerudung belum sepopuler sekarang. Sebutan ‘Ninja’ atau disematkan kategori
sangat alim terdengar berlebihan. Toh itu kewajiban dan merupakan sehelai kain
saja.
Kembali kepada cerita hari itu. Aku
bersama kakak perempuanku hendak ke rumah nenek. Kami pergi dengan menaiki angkot
seperti biasanya. Tidak ada yang berbeda atau firasat akan mendapatkan kejadian
buruk.
Angkot melaju dengan kecepatan
sedang. Mengambil posisi di kiri jalan sambil sopir tetap sigap menyisir jalan
untuk mencari penumpang. Isi angkot cukup penuh, kursi belakang berisi tiga orang,
di tengah empat orang termasuk kami dan di depan sopir bersama seorang
penumpang. Tidak ada yang yang janggal. Semua seperti biasanya.
Sampai angkot menurunkan seorang
penumpang yang menekal bel pada satu pemberhentian. Setelah penumpang itu
turun, angkot kembali melaju. Namun tiba-tiba, ketika kecepatan angkot masih
lambat dua orang lelaki tanggung mengejar. Mereka berteriak keras, meminta
sopir berhenti. Kami, seisi penumpang kebingungan. Apa yang terjadi?
“Berhenti, keluar kalian.” Ujar
kedua pemuda itu. Kemudian dilanjutkan kalimat makian yang tidak jelas
terdengar. Kami semua ketakutan. Karena bukan hanya berteriak meminta berhenti
dan keluar, namun mereka mengacung-acungkan sebilah parang panjang. Senjata
tajam, tanda akan digunakan untuk melukai.
Aku sangat ketakutan. Karena aku duduk
di posisi paling pinggir angkot, tepat di sebelah pintu keluar dengan jendela
yang terbuka. Sedangkan kedua pemuda yang membabi buta mengacungkan parang itu
berada tepat di sampingku, bedanya mereka berlari mengejar di luar angkot.
Nafasku tersengal, aku bisa apa.
Aku harus berlari kemana. Aku tidak bisa berpikir. Keterkejutan akan kejadian
yang datang tiba-tiba dengan cepat membuat aku hilang akal.
“Cepat tutup jendelanya. Pak,
cepat-cepat.” Teriak seorang ibu yang duduk di samping kakak perempuanku. Ia
memenrintahkanku untuk menutup jendela dan meminta sopir untuk mempercepat laju
angkot.
Aku merespon dengan gemetar.
Rasanya pengait untuk menutup jendela itu susah sekali ditemukan. Hitungan detik
terasa menit. Akhirnya ketika aku temukan, dengan cepat saja aku naikkan
penutup jendela itu. Kemudian dalam waktu bersamaan sopir sudah menekan pedal
gas dengan sekuat tenaga sehingga laju angkot menderu semakin cepat.
Tidak pantang menyerah, kedua pemuda
itu bertahan dengan memegangi pintu angkot. Hampir terseret angkot. Karena
angkot semakin melesat, akhirnya mereka melepaskan pegangannya. Tetapi mereka
masih terus mengejar dengan sekuat
tenaga. Aku dan semua penumpang masih ketakutan, dapatkah mereka mengejar kami.
Akal kami tidak berpikir normal untuk memikirkan bahwa kecepatan lari mereka
tidak akan mengalahkan kecepatan mesin mobil. Begitulah.
Alhamdulillah laju angkot meninggalkan
kedua pemuda itu. Mereka masih berteriak kesal, mengutuk diri dan terus memaki.
“Karena kamu itu, mereka kira
kamu anak IAIN. Mengapa pula kalian ini berjilbab, membuat kami akan dibunuh saja.”
Ibu yang tadi memintaku menutup jendela menjelaskan ihwal kejadian barusan
dengan marah.
Aku terdiam, keterkejutan akan
hadirnya kedua pemuda itu ternyata belum selesai. Penjelasan akan mengapa kedua
pemuda itu mengejar ternyata lebih mengejutkan. Ternyata karena sehelai kain
ini, penutup kepala yang aku dan kakakku kenakan.
Rupanya saat itu telah terjadi
tawuran antar instansi Sebuah Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) dengan sebuah sekolah lainnya. Pemuda yang mengejar kami adalah dari sekolah lain itu. Sedangkan
aku dan kakakku diduganya sebagai mahasiswa IAIN karena kerudung yang kami
kenakan.
Aku tidak menyesali kalimat ibu
itu. Bagiku bukan karena kerudung ini kejadian itu terjadi. Bukan karena hijab
ini yang membawa musibah. Tetapi ini adalah ujian dari Allah untuk
keistiqomahan aku dan kakakku yang sudah berkerudung saat banyak yang lain belum
mengenakannya.
Pun ketika kami diselamatkan oleh
Allah akan musibah itu juga menjadi bentuk cintanya kepada kami. Jika bukan
karena cintanya niscaya kami tinggallah nama. Apa sulitnya bagi Allah untuk
membuat angkot itu tidak dapat melaju karena sopir ketakutan sehingga tidak
menginjak pedal gas. Atau tanganku dibuat Allah tidak dapat meraih pengait
penutup jendela sehingga kedua pemuda itu dapat menjangkauku melalui jendela.
Terimakasih ya Rabb, peringatan saat itu akan selalu kuingat. Semoga diri ini
tetap istiqomah. Aamiin.
#20
#20
Komentar
Posting Komentar