Terkadang sadar atau tidak kita
dapat membuat kesalahan pada orang lain. Sayangnya kita tidak tahu jika
kesalahan kita akan berdampak luas bagi sebuah hubungan, menimbulkan masalah pada
satu, dua atau beberapa pihak.
Memang waktu adalah obat terbaik
untuk meredam sebuah masalah. Namun ada kalanya waktu akan menimbulkan kekakuan
dan keangkuhan untuk menyelesaikan masalah. Dibutuhkan kebesaran hati untuk
memulai.
Sebagaimana sebuah kisah dulu. Kisaran
duapuluh tahun yang lalu sebuah kisah bermula. Layaknya sebuah sinetron Indonesia.
Sebuah kisah penikahan yang tidak didukung salah satu pihak. Sang perempuan
adalah gadis lugu yang sangat rajin, sedangkan sang lelaki adalah anak semata
wayang seorang janda. Tersebutlah mereka menikah secara sah dengan restu dari
kedua orang tua kedua mempelai. Bahkan sang mertua yang seorang janda juga
sangat menginginkan pernikahan itu terlaksana segera.
Sebuah pernikahan yang bahagia,
lengkap dengan hadirnya dua orang putri yang sangat manis dan lucu. Keluarga kecil
yang sederhana yang sangat dicintai mertua masing-masing. Namun ternyata
kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Sebuah kebakaran hebat melalap rumah
keluarga kecil itu, lengkap dengan rumah-rumah keluarga sang istri yang saat
itu tinggal berdekatan. Kejadian ini mengharuskan keluarga kecil itu menumpang
sementara di rumah paman sang suami.
Di sinilah drama dimulai. Ternyata
adik sang mertua beserta anak dan istrinya secara diam-diam sangat menentang pernikahan itu. Rasa tidak suka
menjadikan kisah ini layaknya tayangan televisi.
Ketika sang suami ada di rumah
pamannya, maka seluruh keluarga pamannya seolah sangat baik kepada istri dan
anak-anaknya. Namun selangkah saja sang suami meninggalkan rumah untuk bekerja
maka tatapan sinis dan perlakuan tidak manusiawi dimulai.
Kata-kata kasar adalah makanan
sehari-hari sang istri dan anak-anaknya. Bak seorang babu, sang istri akan
bekerja sejak terbit matahari hingga semua pekerjaan rumah selesai. Semua
pekerjaan, bahkan sampai sang buah hati terlantar. Jika keluarga sang istri
datang mengunjungi maka sang istri dikatakan sedang tidak berada di rumah. Bukan
hanya itu saja, hasutan demi hasutan akan datang ke telinga sang suami. Intinya istrinya
adalah istri yang tidak baik. Sang suami bahkan disarankan untuk menikah lagi.
Tangisan adalah teman setia hari-hari
sang istri. Pertengkaran demi pertengkaran kini mewarnai keluarga kecilnya akibat
hasutan bibi dan keponakan suaminya. Kini tidak ada tawa bahagia lagi. Pil
pahit hidup yang diterima sang istri ditelan bulat-bulat sendiri. Dia tidak
pernah mengeluh atau mengadu kepada keluarga besarnya. Semua masalah yang
menimpanya dihadapi sendiri dengan kesabaran yang tinggi. Hinga suatu ketika
sebuah kejadian membuat kesabarannya hilang.
Sang istri sedang hamil anak
ketiganya saat itu. Ketika dengan jahatnya sang paman memintanya menggugurkan
kandungannya dengan alasan untuk apa mempunyai banyak anak, hanya menyusahkan
saja. Berbekal kepatuhan akan perintah paman sang suami, maka dengan polos dan
lugunya sang istri datang ke rumah sakit untuk menggugurkan kandungannya. Namun
ternyata rencana Allahnya yang akan terjadi. Rencana jahat sang paman tidak
diaminkan sang dokter.
“Mengapa harus digugurkan
kandunganya bu” tanya sang dokter.
“Kata paman suami saya, untuk apa
punya anak banyak, hanya akan menyusahkan.” Jawab sang istri polos.
“Bu, suami ibu kan PNS. Sampai
anak ketiga itu masih ditanggung negara. Jangan ragu akan rezeki bu. Allah yang
akan memberinya. Ibu tahu, jika menggugurkan kandungan itu berdosa? Tidak boleh
bu.” Jelas sang dokter panjang lebar.
Sang istri tertegun saat itu. Dia
menyadari kekhilafannya. Pendidikannya yang SD saja tidak tamat membuat banyak
hal tidak diketahuinya. Kepolosan dan
kepatuhannya, membuat dia melakukan apa saja sesuai perintah yang lebih tua. Di
titik inilah sabar panjangnya mulai berkurang.
Apalagi sekembalinya ke rumah,
dia mendengar lagi ketika suaminya dihasut oleh bibi dan keponakan suaminya. Kata-kata
menyakitkan dan tidak layak difitnahkan mengalir dengan mudah dari lisan sang
penghasut.
“Ceraikan saja istrimu.” Ujar
sang penghasut. Kalimat itu disampaikan berulang-ulang.
Sang istri terdiam dan hanya
mampu berlalu pergi. Namun lagi-lagi kalimat lain mengalir membuat luka.
Dihadapan suaminya, sang istri difitnah.
“Belum digugurkan juga. Bodoh. Bisa
hamil, padahal bertengkar setiap hari dengan suaminya.” Ujar penghasut lagi.
Habis sudah kesabaran yang sudah
menipis itu. Fitnah yang sangat keji. Bukan hanya menyuruh menggugurkan
kandunganya namun dia difitnah dengan sebuah dosa besar. Hilang sudah akal
sehatnya. Diambilnya pisau besar yang paling tajam di dapur lalu ia kejar para
penghasut. Sampai bibi dan keponakan suaminya itu ketakutan, berlari masuk ke dalam
kamar. Mereka mengganggap sang istri sudah gila.
Hari itu juga sang istri berkata
kepada suaminya agar mengembalikan saja dirinya kepada orangtuannya jika sudah tidak suka. Dia siap diceraikan, jika memang suaminya sudah tidak percaya lagi
kepadanya. Saat itu suaminya terdiam sangat lama, seperti baru tersadarkan akan
sebuah tidur panjang. Sang suami hanya diam lalu merenung lama di dalam kamar.
Setelah kejadian itu kesengsaran
hidup sang istri mulai berkurang. Para menghasut mulai tidak berani berbuat keji
secara terang-terangan. Sang suami kembali percaya penuh kepada sang istri, dan
tidak ada keraguan. Kemudia Allah juga membantu keluarga kecil itu untuk keluar
dari rumah besar sang paman dengan caraNya. Inilah awal bab baru keluarga kecil
itu.
Singkat cerita akhirnya keluarga
kecil itu kembali bahagia. Memiliki rumah sederhana sediri, lengkap dengan
hadirnya anak laki-laki dari kehamilan yang hampir digugurkan. Sang suami
sangat menyesali perbuatan pamanya, karena memiliki anak laki-laki adalah
impiannya.
Begitulah, kisah yang seolah
selesai dengan akhir yang bahagia. Namun ternyata kisah itu membuat luka yang
mendalam kepada sang istri. Berulang-ulang dia menceritakan kisahnya kepada anak-anaknya
untuk menanamkan kebencian akan keluarga paman suaminya. Memang hal ini tidak
dapat dibenarkan, namun alasan mengapa demikian dapat dimaklumi. Bertahun-tahun,
puluhan tahun sang istri mengazamkan bahwa kakinya tidak akan pernah menginjak
rumah besar sang paman.
Dilain pihak sang suami tetap
berbakti dengan mengunjungi secara rutin dan membantu keluarga pamannya yang
sudah tidak sekaya dulu lagi. Paman dan bibinya juga mulai renta. Rumah besarnya
terasa sangat hening. Anaknya yang cuma satu-satunya juga tidak memiliki kisah
bahagia selayaknya orang lain. Cukup menyedihkan, apalagi sang paman sudah
bertahun mengidap berbagai penyakit.
Dendam dan luka sang ibu ternyata
meresahkan anak-anaknya yang mulai beranjak dewasa. Meskipun nada kebencian
didendangkan, tetapi Allah tetap menjaga kebersihan hati anak-anaknya. Mereka
tidak membenci, meskipun juga tidak mencintai paman dan keluarga ayahnya.
Mereka menghendaki ibunya tidak memendam kebencian, meskipun mereka paham jika luka
hati ibunya tidak mudah dipulihkan.
Meskipun dibujuk, sang ibu tetap
tidak mau memaafkan keluarga paman ayahnya. Berkali sang ibu diajak bersilahturami
ke sana tetap tidak berkenan, pun pada momen hari raya. Hingga datanglah hari
itu. Anak gadisnya yang kedua mengajak ibunya bersilaturahmi kepada keluarga dihari
Idul Fitri. Sengaja ia mengajak ibunya bersilahturahmi dengan menggunakan sepeda motornya. Sang ibu
hanya duduk manis dibelakang dan mengikuti saja arah motor yang melaju.
Selepas berkunjung ke rumah sang
nenek, sang anak mengajak ibunya ke rumah keluarga lainnya. Kemacetan kota
besar tempat tinggalnya mengharuskan sang gadis lincah mencari jalan tikus yang
lebih lengang. Ibunya tidak mengetahui rencana manis sang anak.
“Kita mau kemana ma? Tanya sang
ibu kepada ima, sang anak.
“Ke keluarga ayah, nanti ibu tahu
juga.” Senyum manisnya menyiratkan sebuah rencana.
Ima menyadari tatapan bingung
ibunya ketika sepeda motornya memasuki rumah besar itu. Namun sang ibu tidak
dapat berkata apa-apa lagi. Motor sudah berhenti tepat berjarak lima meter dari pintu rumah besar
itu. Iya, rumah paman suaminya. Memang tidak seindah dulu, tidak terawat dan
terlihat layak dipugar pada beberapa bagian rumah. Namun kenangan tetaplah
kenangan. Ima dapat melihat raut beragam perasaan pada muka sang ibu.
Butuh beberapa menit sampai sang
ibu bersedia beranjak dari tempat parkirnya motor.
“Ayo bu….” Ajak Ima sambil menggandeng
tangan ibunya. Ditatapnya sang ibu, lalu tersenyum menguatkan.
“Assamulaikum, nek…nek…bi…bibi…”.
Ima mengucap salam dan berusaha memanggil penghuni rumah.
“Assalamualiakum….” Suara ibu
terdengar lirih, membantu Ima mengucap salam.
Lama tidak terdengar jawaban
salam dari dalam rumah. Besarnya rumah barangkali membuar suara ibu dan anak
itu tidak terdengar. Lalu ima kembali mengucap salam, memanggil penghuni rumah
dengan suara yang lebih keras. Namun masih hening, belum ada jawaban dari
dalam. Sampai akhirnya seorang perempuan tua kurus keluar dari balik tirai. Pakaiannya
sederhana, tidak tega untuk dikatakan lusuh. Nenek itu berjalan lambat sambil
berusaha mengenali sang tamu.
“Mak, ini Ana mak.” Ibuku
menjelaskan sebelum sang nenek bertanya.
“Na, itu benar kamu.” Sang nenek
seolah tidak percaya. Raut muka yang sama terlihat. Berupa perasaan bercampur
menjadi satu pada ekspresi kerut wajah sang nenek. Seolah tidak percaya akan
seorang ibu yang hadir ini di depan pintu rumahnya.
Lalu pelukan hangat dan tangisan
mulai mewarnai pertemuan itu. Pertemuan yang menghancurkan tembok kebencian dan
dendam. Waktu puluhan tahun telah merubah semuanya. Tak ada lagi prasangka atau
rasa tidak suka, berganti dengan buncahan kerinduan yang sampai pada muaranya.
Ima tak sanggup menahan air matanya. Kejadian ini adalah impiannya sejak lama,
menyatukan kembali orang-orang yang hadir dalam hidupnya. Merekatkan kembali
ikatan yang lama terputus.
Ah sungguh indah, kata-kata
meminta maaf dan memaafkan tidak terdengar kala itu, namun apa yang terjadi mengatakan
bahwa semua sudah kembali baik-baik saja. Ya, baik-baik saja. Betapa indahnya
ikatan itu. Tak henti Ima menangis, menangisi kebahagiaan.
#13
#13
Komentar
Posting Komentar