Ayah dan ibuku selalu berkata,
“Banyak-banyak bersyukur.”
Kalimat itu masih terngiang
sampai saat ini. Meskipun aku sudah jarang mendengarnya sekarang atau karena
aku sudah mulai paham sehingga ayah dan ibu tidak mengulanginya.
Ceritanya aku lahir dari keluarga
yang sangat sederhana, bahkan cenderung prihatin. Berbagai keterbatasan membuat
kami, anak-anaknya, termasuk aku, menjadi sering mengeluh. Misalnya ketika
sarapan pagi terhidang, maka kami sering berkomentar, “Nasi goreng terus.” Atau
ketika meminta uang jajan dan tidak diberikan kami selalu kesal dan mengeluh,
“Teman-teman di sekolah selalu punya uang jajan banyak.” Serta banyak lagi
diberbagai kesempatan, kami selalu mengeluh.
Ayah dan ibu dengan sabar selalu
mengulang nasehatnya agar kami banyak bersyukur. Ayah juga bilang untuk melihat
ke bawah bukan ke atas. Ayah mengingatkan betapa banyak orang yang tidak
seberuntung kami. Ada yang tidak mampu makan tiga kali sehari, tidak bisa
bersekolah, tidak punya tempat tinggal atau bahkan tidak memiliki uang sama
sekali.
Dulu, saat itu kami selalu kesal
ketika dinasehati ayah atau ibu. Kami ingin mengecap hidup yang lebih baik.
Makan makanan enak setiap hari, punya uang jajan banyak, memiliki baru baru,
bisa jalan-jalan dan lain sebagainya. Semua hal yang kala itu kami tidak
memilikinya. Jika kami masih belum mengerti juga maka ayah dan ibu akan kesal
dan marah, akhirnya kami pun turut merajuk. Begitulah, betapa memahamkan
pengertian bersyukur itu tidak mudah.
Kini, hari berganti. Kami,
anak-anaknya beranjak dewasa. Mulai dapat menjalani hidup di bawah pijakan kaki
sendiri. Ternyata saat berproses membangun kemandirian itu akhirnya kami
mengerti, apa makna bersyukur yang dimaksudkan ayah dan ibu. Mengapa ayah dan
ibu mengingatkan untuk selalu banyak-banyak bersyukur. Saat ini kami sangat
paham. Apa yang kami peroleh dengan keringat sendiri saat ini rupanya sangat
berharga untuk disyukuri. Allah telah memberikan berbagai nikmat sangat banyak.
Ketika mandiri, kami mengetahui
betapa tidak mudahnya hidup. Banyak orang di sekitar kami yang tidak
seberuntung kami. Secara zahir kami dilahirkan lengkap tanpa kurang. Kami dapat
mengecap pendidikan tinggi. Betapa beruntung kami memiliki keluarga lengkap,
harmonis meskipun sederhana, serta banyak lagi. Sehingga apabila kami akan
menghitungnya maka kami tidak akan sanggup.
Saat ini kami perlahan mulai bersyukur
dan mulai mengurangi keluhan. Kami sadar, apa yang harus dikeluhkan jika yang
harus disyukurkan lebih banyak adanya.
#16
#16
Komentar
Posting Komentar