“Ammah….Abi tidak mau masuk
neraka, panas, ada api, takut.” Seru Abi tiba-tiba.
Padahal bocah delapan tahun ini
masih mengenakan seragam putih merah tanda baru pulang sekolah. Keringat masih
mengucur berkat pembakaran kalori dan terik mentari saat Abi pulang bersepeda.
“Ya iyalah, siapa yang mau masuk
neraka, Ammah juga tidak mau bang.” Jawabku sekenanya, sambil terus menyelesaikan
setrikaan yang masih menumpuk.
“Abi mau nurut sama ibu, sama
ayah, sama nenek, sama ammah juga. Abi akan sholat terus mah, mengaji di TPA setiap
hari.” Abi mulai menjelaskan dengan bahasanya asal muasal pernyataan awal tadi.
Kemudian mengambil posisi duduk bersandar di depanku. Terpaksa aku menghentikan
laju alat setrika. Memandang dan mempersiapkan diri menjelaskan serta menjawab pertanyaan Abi seperti biasanya.
“Ohhhh…Tadi Ibu guru bilang kalau
abi tidak nurut sama ibu, ayah, nenek dan ammah, maka Abi akan masuk neraka ya?
Kalau tidak sholat dan tidak setiap hari ke TPA juga? Selidikku sambal tersenyum.
Anak seumur ini memang menjadikan kalimat ibu gurunya sebagai titah. Luar biasa
ajaib lisan seorang guru itu.
“Iya mah, koq ammah tau?” Abi
malah bertanya lagi
“Tentu dong, Ammahnya Abi kan
hebat.” Jawabku membanggakan diri.
“Mah, neraka itu sangat panas ya?” Tanya Abi
“Iya, lalu kenapa?” Aku balik
bertanya.
“Kata ibu guru tadi, api neraka
bisa nyala karena bahan bakarnya manusia dan batu”. Abi mulai mengisyaratkan
pertanyaan.
“Benar bang, bahan bakarnya
neraka itu manusia yang buta, tuli dan bisu dari kebenaran. Misalnya nih, ada orang
diingatkan dan diajak untuk sholat
dengan panggilan adzan, tapi orang itu pura-pura tidak mendengar panggilan
adzan lalu tidak sholat, artinya ia tuli dong. Nah, orang seperti ini akan jadi
bahan bakar neraka.” Jelasku Panjang lebar.
“Kalau batu, batu apa mah.” Tanya
Abi penasaran. Abi mulai menopang dagu dengan tanganya tanda siap mendengarkan
lanjutan penjelasan.
“Ada dua jenis batu bang, satu
batu belerang dan satu lagi batu dari patung berhala yang disembah orang-orang.”
Penjelasanku semakin tidak mudah bagi Abi.
“Abang tahu belerang kan? Waktu
kita ke Tangkuban Perahu tahun lalu itu” Aku memastikan Abi paham.
“Yang bau busuk itu mah? Kan ada
asap-asapnya. Ooo pantes bisa dibakar.” Abi mulai bertanya dan seolah menjawab
sendiri pertanyaannya. Alamat setrikaan ku semakin tertunda.
“Iya betul. Abang paham kan?
Kembali aku memastikan. Kemudia Abi menjawab dengan anggukan.
“Patung berhala, abang masih ingatkan.
Waktu ammah cerita kisah Nabi Adam sebelum abang tidur dulu.” Aku yakin memori ingatan
anak baik ini sangat kuat.
“Abang ingat, yang dihancurkan
Nabi Adam kan mah.” Jawab anak ini menyakinkan.
“Tepat sekali. Seratus untuk
Abang Abi yang pintar.” Jawabku dengan pujian.
Kadangkala mudah, namun kadangkala
butuh diskusi panjang untuk menanamkan pemahaman kepada Abi. Temanya kali ini
cukup berat, neraka khususnya menjelaskan tentang bahan bakar neraka. Sampai akhirnya
aku harus menunda hamper satu jam setrikaan yang masih menumpuk. Padahal keringatku dan keringat Abi masih tampak,
tanda kamar mulai pengap dan panas akibat alat setrika yang masih menyala.
“Abi sudah paham sekarang kan?”
Tanyaku memastikan di akhir tanya jawab.
“Sudah mah, sudah tahu.” Jawab
Abi mantap.
“Kalau begitu, ganti baju sana.
Lalu siap-siap ke TPA. Ammah mau menyetrika lagi. Duduk di sini lama-lama nanti
tersenggol setrika ammah” Seruku yang sebenarnya memerintah.
“Iya mah. Abi kan pernah tidak
sengaja tersenggol setrika. Panassss….” Jawab Abi dengan gaya ekspresifnya.
“Bang…bang…kena setrika saja
panas, apalagi kena api neraka.” Sahutku sekenanya.
#10
Komentar
Posting Komentar