Hari itu semua tertegun termasuk
pemuda yang bertanya tadi. Sedangkan saya ikut terdiam sambil menekuri makna
dari maksud pesan sang fasilitator. Iya, kala itu saya sedang mengikuti
pelatihan guru ditingkat nasional. Senang rasanya dapat berkumpul dengan
guru-guru di seluruh pelosok tanah air. Cerita-cerita bagaimana perjuangan
mereka mengajar di daerah terpencil memberi keanekaragamaan warna dalam kelas
mereka.
Kembali kepada pemuda tadi,
seorang guru dari salah satu kabupaten di pulau Sumatera. Guru baru yang sangat
bersemangat. Kemampuan profesionalnya tidak perlu diragukan. Sepanjang pelaihan
ia terlihat sangat aktif berpartisipasi dalam kegiatan pelatihan. Lalu
sampailah pada sesi seorang fasilitator sepuh yang menyampaikan materinya.
Saat itu materi tentang soal-soal
HOTS yang sedang popular saat ini. Soal-soal High Order Thinking yang menguji
penalaran, kreatifitas serta kemampuan tingkat tinggi lainnya. Soal-soal
terkait dengan materi yang diajarkan
pada level SMA. Namun karena soal-soal itu tidak rutin dipelajari di kelas maka
kadang terasa sulit.
Tibalah akhir sesi, sang
fasilitator yang sudah memiliki cucu itu memberi kesempatan kepada peserta
pelatihan untuk bertanya atau menyampaikan pendapatnya terkait materi yang sudah
sang fasilitator sampaikan. Sudah dapat diduga guru muda itu mengangkat tangan
tanda akan menyampaikan sesuatu.
“Pak, sebenarnya materi ini untuk
apa diberikan. Terlalu sulit untuk anak-anak yang saya ajar di sekolah.
Jangankan yang sesulit ini, soal mudah saja mereka tidak bisa menjawab. Mengapa
kita selalu sibuk memikirkan peringkat siswa kita di PISA. Pemerintah kita
memikirkan itu saja. Padahal banyak yang perlu dibenahi disekolah. Sebaiknya
pemerintah perhatikan dulu sarana dan prasana di sekolah apakah sudah menunjang
untuk siswa kita dapat berpikir seperti itu. Buku tidak punya, saran disekolah
tidak ada, kurikulun berganti terus, guru di daerah masih kurang, dan banyak
lagi kekurangan. Belum lagi tuntutan nilai UN harus baik. Kalau tidak baik guru
yang disalahkan. Jadi kita tidak perlulah untuk repot mengurusi soal-soal yang
sulit ini. Siswa kita tidak memerlukannya….” Jelas guru muda itu.
Sebenarnya kalimatnya lebih
panjang dari yang dapat saya ingat, namun intinya kira-kira seperti yang saya
tuliskan di atas. Sebagian guru peserta pelatihan yang menyimak pernyataan guru
muda itu mengangguk-anguk tanda satu pemahaman. Ada pula yang mengerenyitkan
dahi tanda ada yang terasa kurang berkenan. Ada pula yang tanpa ekpresi,
mungkin karena tidak menyimak apa yang disampaikan.
Saya lalu memperhatikan raut sang
fasilitator setelah mendengar pernyataan panjang sang guru muda.
“Terimakasih atas pendapatnya
pak, bagus dan beralasan. Kita sebagai guru memang kadang dilematis tentang
harapan pemerintah dengan kenyataan di lapangan.” Respon sang fasilitator
sambil tersenyum.
“Barangkali bukan ranah saya
untuk menjawabnya. Hanya saya ingat memiliki sebuah slide yang bisa jadi dapat
menjadi renungan kita semua.” Sambung sang fasilitator. Kemudia beliau mulai
menampilkan slide yang dimaksudkan.
Slide yang ditampilkan sang
fasilitator hanya satu. Berupa rangkaian kata yang muncul satu persatu dengan
latar belakang seorang yang renta.
Ketika aku muda
aku, ingin mengubah seluruh dunia.
Lalu aku sadari,
betapa sulitnya mengubah seluruh dunia ini.
Kemudian aku
putuskan untuk mengubah negaraku saja.
Ketika aku sadari
bahwa aku tidak bisa mengubah negaraku,
Aku mulai berusaha
mengubah kotaku.
Ketika aku semakin
tua, aku sadari tidak mudah mengubah kotaku.
Maka aku mulai mengubah
keluargaku.
Kini aku semakin
renta, aku pun tak bisa mengubah keluargaku.
Aku sadari bahwa
satu-satunya yang bisa aku ubah adalah diriku sendiri.
Tiba-tiba aku
tersadarkan bahwa bila saja aku bisa mengubah diriku sejak dahulu, aku pasti
bisa mengubah keluargaku dan kotaku.
Pada akhirnya aku
akan mengubah negaraku dan aku pun bisa mengubah seluruh dunia ini.
Semua terdiam, termasuk guru muda
tadi. Semua memahami maksud sang fasilitator dan mulai merenungi diri sendiri,
termasuk saya sendiri.
Memang cita-cita besar,
kegundahan akan kenyataan, jiwa muda yang ingin bersegera, harus didahului
dengan perbaikan diri sendiri terlebih dahulu. Ini belaku dalam hal apapun.
Sejak saat itu aku kadang berkata
kepada siswaku,
“Nak nanti dulu bercita-cita ingin
mengubah dunia, jika bangun pagi untuk ke sekolah saja masih karena teriakan
dan omelan emak.”
#27
Komentar
Posting Komentar