Seminggu terakhir ini sekolah sedang melakukan renovasi atap. Para pekerja melakukan perbaikan bagian langit-langit atap yang rusak terkena air hujan. Karena gedung utama SMA Negeri 1 Koba berlantai dua maka pekerja menggunakan sebuah alat bangunan di bawah ini.
Scaffolding atau Perancah Bangunan |
Melihat alat ini saya teringat dengan istilah scaffolding yang dipopulerkan oleh Vygotsky. Ternyata istilah scaffolding juga merujuk kepada istilah konstruksi bangunan. Pengertian scaffolding menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.01/MEN/1980 tentang keselamatan dan kesehatan kerja konstruksi bangunan, perancah (scaffolding) adalah bangunan pelataran (platform) yang dibuat untuk sementara dan digunakan sebagai penyangga tenaga kerja, bahan-bahan serta alat-alat pada setiap pekerjaan kostruksi bangunan termasuk pekerjaan pemeliharaan dan pembongkaran.
Vygotsky dengan aliran konstruktivismenya menyatakan bahwa scaffolding merupakan bentuk bantuan yang tepat waktu yang juga harus ditarik tepat waktu ketika interaksi yang sedang terjadi. Saat interaksi belajar
berlangsung, scaffolding kadang dibutuhkan
secara bersamaan dan terintegrasi dalam aspek
fisik, intelektual, seni dan emosional.
Ditinjau dari dua pengertian di atas, scaffolding memiliki dua kata kunci yang sama, yaitu bantuan dan sementara. Guru dalam pembelajaran bukanlah semata seorang pemberi pengetahuan kepada siswa, namun siswa harus membangun pengetahuannya sendiri. Dalam membangun pengetahuannya sendiri inilah guru diperlukan untuk memberikan bantuan sementara kepada siswa di waktu yang tepat.
Selama ini guru masih sering latah untuk menbantu siswa dalam porsi yang banyak. Guru sering kali tidak sabar untuk memberikan informasi dan seluruh pengetahuan yang mestinya dapat dibangun sendiri oleh siswa. Padahal dengan bantuan yang tepat siswa sebenarnya mampu membangun pengetahuannya secara mandiri.
Contoh sederhanya sebagai berikut. Seorang pembimbing ekstrakurikuler sedang membimbing siswanya membuat proposal karya tulis ilmiah. Saat itu siswa tersebut akan melengkapi proposal dengan kajian teori penelitian yang direncanakan dalam proposal. Siswa saat itu belum mengetahui apa itu kajian teori. Nah, inilah saat guru memberikan bantuan kepada siswa berupa pengetahuan tentang apa maksud dari kajian teori dalam sebuah penelitian.
Setelah guru memberikan informasi terkait apa maksud dari kajian teori, selanjutnya guru tidak perlu memberi informasi teori apa saja yang harus dicari atau ditampilkan siswa dalam proposalnya. Guru dapat membantu siswa membangun sendiri pengetahuannya dengan cara bertanya. Misalnya,
Guru: "berdasarkan pengertian kajian teori yang ibu jelaskan, menurut kamu, teori apa saja yang perlu diketahui atau dijadikan rujukan dalam penelitian yang akan kamu lakukan?"
Siswa: "tidak menjawab, dan hanya tersenyum."
Guru: "penelitian kamu tentang apa? judul proposal kamu apa?"
Siswa: "tentang briket daun akasia bu. Judul penelitian kami, Efiktifitas Pembuatan Briket Daun Akasia Sebagai Bahan Bakar Alternatif Rumah Tangga."
Guru: "Kalau tentang briket daun akasia dan judulnya itu, menurut kamu teori apa saja yang diperlukan. Teori tentang apa saja?"
Siswa: "tentang Akasia bu."
Guru: "lalu apa lagi?"
Siswa: "hmmmm...briket ya bu?"
Guru: "menurut kamu perlu tidak briket?"
Siswa: "perlu bu."
Guru: "benar, perlu. Jadi Akasia dan briket, apakah masih ada lagi yang diperlukan?"
Siswa: "bu, yang Akasia itu selain tentang pohon Akasia, daunnya juga ya?"
Guru: "penting tidak daunnya dicari teorinya, yang kamu teliti apa?"
Siswa: "iya ya bu, saya kan meneliti daun Aksia."
dst....
Ini adalah gambaran scaffolding agar siswa dapat membentuk pengetahuan tentang kajian teori dalam karya tulis ilmiah. Guru hanya memberikan informasi yang diperlukan, lalu membantu mengarahkan siswa membentuk pengetahuannya dengan cara bertanya, bukan langsung memberi informasi. Kemampuan bertanya inilah yang diperlukan oleh seorang guru serta kesabaran untuk tidak langsung memberi tahu.
Contoh sederhanya sebagai berikut. Seorang pembimbing ekstrakurikuler sedang membimbing siswanya membuat proposal karya tulis ilmiah. Saat itu siswa tersebut akan melengkapi proposal dengan kajian teori penelitian yang direncanakan dalam proposal. Siswa saat itu belum mengetahui apa itu kajian teori. Nah, inilah saat guru memberikan bantuan kepada siswa berupa pengetahuan tentang apa maksud dari kajian teori dalam sebuah penelitian.
Setelah guru memberikan informasi terkait apa maksud dari kajian teori, selanjutnya guru tidak perlu memberi informasi teori apa saja yang harus dicari atau ditampilkan siswa dalam proposalnya. Guru dapat membantu siswa membangun sendiri pengetahuannya dengan cara bertanya. Misalnya,
Guru: "berdasarkan pengertian kajian teori yang ibu jelaskan, menurut kamu, teori apa saja yang perlu diketahui atau dijadikan rujukan dalam penelitian yang akan kamu lakukan?"
Siswa: "tidak menjawab, dan hanya tersenyum."
Guru: "penelitian kamu tentang apa? judul proposal kamu apa?"
Siswa: "tentang briket daun akasia bu. Judul penelitian kami, Efiktifitas Pembuatan Briket Daun Akasia Sebagai Bahan Bakar Alternatif Rumah Tangga."
Guru: "Kalau tentang briket daun akasia dan judulnya itu, menurut kamu teori apa saja yang diperlukan. Teori tentang apa saja?"
Siswa: "tentang Akasia bu."
Guru: "lalu apa lagi?"
Siswa: "hmmmm...briket ya bu?"
Guru: "menurut kamu perlu tidak briket?"
Siswa: "perlu bu."
Guru: "benar, perlu. Jadi Akasia dan briket, apakah masih ada lagi yang diperlukan?"
Siswa: "bu, yang Akasia itu selain tentang pohon Akasia, daunnya juga ya?"
Guru: "penting tidak daunnya dicari teorinya, yang kamu teliti apa?"
Siswa: "iya ya bu, saya kan meneliti daun Aksia."
dst....
Ini adalah gambaran scaffolding agar siswa dapat membentuk pengetahuan tentang kajian teori dalam karya tulis ilmiah. Guru hanya memberikan informasi yang diperlukan, lalu membantu mengarahkan siswa membentuk pengetahuannya dengan cara bertanya, bukan langsung memberi informasi. Kemampuan bertanya inilah yang diperlukan oleh seorang guru serta kesabaran untuk tidak langsung memberi tahu.
Komentar
Posting Komentar