Kemarin anakku menelpon. Ya, aku katakan anakku. Karena ketika kami berbicara, seorang temannya bertanya.
"Itu mamak ya?
Lalu anakku menjawab, "bukan, ini guru SMA ku.
Kemudian aku menimpali, "iya, ini mamak juga".
Terdengar nada senang dari anakku ketika mendengar sergahku.
"Iya, ini mamakku juga" sahut anakku.
Kata itu sesungguhnya sudah lama ingin aku katakan.
Benar adanya, gadis ayu itu adalah muridku. Ia menempuh SMA dimana aku mengajar di sana. Namun sebenarnya, aku tidak pernah sekalipun mengajarnya di dalam kelas. Selalu saja bukan aku guru matematikanya. Baik saat mengampu di kelas atau saat pelajaran tambahan pengayaan untuk persiapan UN.
Kami kerap berinteraksi di luar itu. Ia paling sering ke rumahku. Paling banyak urusan kami adalah terkait Rohis SMAN 1 Koba. Ia adalah ketua keputrian di Rohis. Dalam satu hari terkadang lebih satu kali ia ke rumah. Bahkan sampai larut, meskipun ia tidak pernah bermalam di rumah.
Hampir lupa, selain murid di sekolah. Ia pernah belajar tahsin di rumah. Dalam satu minggu ada dua malam. Selain mengaji, ia bersama teman-teman tahsinnya sering bercerita hingga larut. Biasanya jika aku tidak 'mengusir', maka mereka belum akan beranjak pulang. Entah mengapa orangtua mereka juga seperti sangat percaya jika mereka ada di rumah. Meski sudah larut, hampir tidak pernah mereka ditelpon untuk segera pulang.
Diantara banyak muridku, ia adalah yang paling banyak terikat secara emosi denganku. Bagaimana tidak, apapun arahanku kepadanya selalu diikutinya. Apapun yang aku tugaskan dilaksanakannya. Aku tidak bilang aku memberi perhatian lebih karena ia penurut. Bukan semata-mata itu alasanya. Tetapi karena ia teramat baik. Aku belum pernah bertemu murid yang hampir setiap hari menjelang buka puasa selalu mengantarkan makanan pembuka puasa ke rumah. Makanan yang ia buat sendiri dengan tangannya. Aku sangat tersentuh. Meski sedikit atau banyak, ia menyisihkan untukku ibarat keluarganya. Selalu begitu. Bahkan dihari raya ia tidak pernah absen mengirimiku makanan. Ia sangat peduli terhadapku.
Gadis itu cukup pendiam. Jika ia bersama temannya ke rumahku, dapat dipastikan temannyalah yang paling banyak bicara. Demikian pula jika ia datang sendirian ke rumahku, tentu saja akulah yang paling sering bercerita. Ia tidak banyak bicara. Namun dalam sedikit itu, ia dapat mengungkapkan pedulinya padaku. Saat aku sakit, sibuk, sedih, senang, apapun itu ia sangat perhatian. Bahkan aku merasa aman menceritakan beberapa rahasia kepadanya.
Saat ini ia sedang menghafal Al-Qur'an di sebuah lembaga di Jakarta. Beasiswa dalam bentuk pengabdian selama dua tahun. Terhitung kemarin, sudah empat bulan lima hari ia di sana. Itulah keputusan besarnya yang luput dari pertimbanganku. Aku saat itu seolah sangat sibuk. Namun aku sangat mendukung keputusannya. Dalam beberapa putusan besar dalam ceritanya ia sering meminta pendapatku, tentulah setelah ibunya. Kemarin, ia mengabarkan jika empat bulan lagi ia mesti hafal 30 juz. Ia meminta do'aku. Nak, tentu saja...
Sejujurnya aku yang merindukannya. Ia gadis yang baik. Gadis yang sangat kuat. Ia yatim sejak kecil. Bahkan saat usianya baru beberapa bulan. Ia tidak pernah mengingat bagaimana wajah sang ayah. Selain melalui beberapa foto lama. Hari itu, aku hampir meneteskan air mata saat ia bertanya padaku malam itu. Pertanyaan yang ia mulai dengan berat dan lama.
"Bu, apakah nanti aku bisa bertemu ayah?"
Air mataku kuat kutahan saat menjawab pertanyaan itu. Aku mengetahui betapa ia sangat merindukan ayahnya. Kami mengakhiri diskusi malam itu dalam diam. Setelah ia dapat tersenyum dengan yakin. Nak, insya Allah.
Nak,
Bukankah saat ini dirimu sedang memintal jubah kebesaran untuk ayah dan ibumu.
Dan tentu saat ini mahkota cahaya itu akan segera dirimu persembahkan untuk kedua orangtuamu.
Nak,
Tidak ada cita-cita besar selain menjadi penghafal Al-Qur'an
Tidak ada keindahan selain dirimu yang sedang berproses menjadi sang penyejuk hati orangtuamu.
Nak,
Temakasih karena telah menjadikanku ibumu.
Sungguh ibu yang sangat beruntung.
Engkaulah sang pengingat itu.
Komentar
Posting Komentar