Apakah
anda merasa gelisah, tegang, dan tidak
nyaman saat belajar matematika? Apakah anda seperti melupakan semua rumus
matematika yang telah dipelajari saat ujian matematika berlangsung? Bahkan merasa tegang, takut, dan sulit saat
mendengar kata matematika? Jika ada jawaban pertanyaan-pertanyaan di atas
adalah iya, maka anda mungkin telah mengalami
kecemasan matematika atau mathematics
anxiety. Kecemasan matematika dapat dialami oleh siapa saja yang pernah
belajar matematika secara formal, yang membedakan adalah tingkat atau kadar kecemasan
tersebut, apakah rendah, sedang atau tinggi. Bahkan seorang guru matematika
juga dapat mengalami kecemasan matematika, seperti yang terjadi para guru-guru
matematika di Kota Banjarmasin (Sumardiyono, 2011) yang mengalami kecemasan
matematika tingkat rendah. Hal ini dapat terjadi karena kecemasan matematika
adalah aspek afektif hasil pembelajaran matematika kumulatif dari jenjang
sekolah dasar sampai sekolah menengah atas (Suryanto, 2008). Jadi pengalaman
belajar matematika sebelum menjadi guru matematika dapat menjadi aspek yang mempengaruhi
kecemasan matematika tersebut. Tingkat kecemasan yang rendah ini dapat dikategorikan tingkat kecemasan dalam
tahap wajar, dalam artian belum sampai mengganggu aktivitas bekerja dalam
matematika. Namun apabila tingkat kecemasan tersebut sudah cukup tinggi apalagi
telah masuk kategori tinggi, maka akan mempengaruhi aktivitas matematikanya.
Kecemasan
matematika merupakan perasaan ketegangan, cemas atau ketakutan yang mengganggu
kinerja matematika. (Ashcraf, 2002). Seringkali kecemasan yang dialami siswa
mengakibatkan mereka menghindari situasi dan kondisi dalam penyelesaian masalah
matematika. Richardson dan Suin menyatakan kecemasan matematika melibatkan
perasaan tegang dan cemas yang mempengaruhi dengan berbagai cara ketika
menyelesaikan soal matematika dalam kehidupan nyata dan akademik. Tidak hanya
keterlibatan siswa terhadap pelajaran matematika di sekolah secara akademik,
tapi apapun bentuk permasalahan dalam kehidupan sehari-hari selagi bersentuhan
dengan angka, maka siswa akan cemas dan tegang.
Gejala kecemasan matematika berupa berbagai
perasaan gelisah, dan merasa kesulitan bernafas ketika mencoba untuk
menyelesaikan tugas-tugas matematika (Pleisance, 2010). Ada pula gejala fisiologis serta gejala psikologis
yang dialami oleh siswa yang mengalami kecemasan matematika. Gejala fisiologis
dapat berupa peningkatan denyut jantung,
tangan berkeringat, serta sakit perut
dan sakit kepala ringan. Gejala psikologis dapat ditunjukan dengan perasaan
tidak berdaya atau butuh bantuan, khawatir, aib, dan perasaan tidak mampu dalam
bekerja dengan matematika. Terdapat beberapa penyebab kecemasan matematika,
diantaranya adalah terlalu banyak ceramah (komunikasi satu arah) dan
pembelajaran langsung dalam kelas, tapi kurang diskusi. Terlalu banyak belajar
teori matematika, tidak praktis dalm kehidupan sehari-hari.
Pengalaman-pengalaman negatif dari awal pembelajaran matematika. Serta pembelajaran matematika yang terlalu
banyak memberikan pekerjaan rumah.
Berdasarkan
penyebab kecemasan matematika yang telah dipaparkan di atas, maka dari sanalah
guru dapat memulai menyelesaikan penyebab kecemasan matematika tersebut. Guru
dapat mengkreasikan pembelajaran yang sehingga tidak satu arah dalam bentuk
ceramah saja. Beruntung saat ini sejak diberlakukannya kurikulum 2013, memberikan
ruang sempit untuk metode ceramah digunakan dalam pembelajaran. Justru saat
ini, guru dituntut memberikan porsi yang besar akan keterlibatan siswa dalam
pembelajaran dengan penerapan pendekatan saintifik dalam pembelajaran. Kemudian guru seyogyanya dapat mendisain pembelajaran matematika menjadi
materi pelajaran yang kontekstual dan aplikatif sehingga menyentuh kehidupan
siswa sehari-hari. Memulai pembelajaran matematika dengan menyajikan
permasalahan dalam kehidupan sehari-hari dapat menjadi motivasi sekaligus
triger yang menarik bagi siswa. Selanjutnya, guru dapat juga memilah
tugas-tugas yang memang krusial sebagai pekerjaan rumah atau bahkan hanya
memberikan satu proyek saja namun padat aplikasi konsep sebagai tugas. Hal ini
sebagai upaya menghindari kejenuhan akan drill soal dalam jumlah besar.
Penelitian Jean Benner (2010)
menyimpulkan bahwa kecemasan matematika bukanlah reaksi
terhadap matematika itu sendiri, melainkan sebuah hasil dari kelas matematika.
Hal ini berarti seorang guru berada dalam posisi yang unik untuk mencegah
perkembangan kecemasan matematika. Pernyataan ini menjelaskan bahwa guru
bertanggung jawab untuk mengkondisikan kelas matematika sebagaimana yang
diharapkan. Yaitu situasi yang dapat mencegah berkembangnya kecemasan
matematika pada diri siswa. Penegasan akan peran guru dalam kecemasan
matematika siswa ini dinyatakan dalam penelitian Plaisance (2010). Dikatakan
bahwa cara guru dalam mengajarkan materi menjadi alasan bagaimana tingkat
kecemasan matematika siswanya.
Dengan demikian
sangatlah jelas terlihat, sejauh mana usaha seorang guru matematika untuk
mengubah cara mengajarnya dan menerapkan strategi yang telah disarankan, maka sejauh itu pula usaha guru untuk
mereduksi kecemasan matematika siswanya. Kecemasan matematika tingkat rendah
yang dialami siswa mungkin bukan menjadi masalah, akan tetapi siswa yang
mengalami kecemasan matematika tingkat tinggi akan berakibat pada capaian
prestasi akademiknya. Jadi, sebagai tokoh kunci yang berperan dalam menentukan
kecemasan matematika siswa, hendaknya guru matematika menyadari perannya dan
mampu mengelola pembelajaran matematika sebagaimana mestinya.
Dipublikasikan pada Harian Radar Bangka tanggal 9 Juli 2015
Komentar
Posting Komentar